BAB I
PENDAHULUAN
Seperti yang kita ketahui bersama
bahwa tujuan beretika yang baik untuk mimbina hubungan yang harmonis atar
manusia, dalam ajaran agama Hidu tidak hanya hubungan antara manusia, namun
juga hubungan manusia dengan tuhan dan hubungan manusia dengan alam. Tata
susila dalam ajaran agama Hindu merupakan salah satu dasar dari tiga kerangka
dasar agama Hindu disamping sraddha dan acara yang bersumber pada kitab suci
veda, dan susastra Hindu lainya.
Didalam kita hidup bermasyarakat
serta karena manusia merupakan makhluk sosial tidak seorangpun boleh bertindak
sesuka hati, seorang harus bias beradaptasi atau menyesuaikan diri terhadap
lingkungannya, tunduk dan patuh mengikuti peraturan yang berlaku dilingkannya.
Dalam ajaran agama Hindu aturan atau peraturan bertingkah laku yang baik
disebut ‘sila’ yang dalam bahasa Indonesia menjadi tata susila. Nama lain dari
istilah tersebut adalah etika, etika berarti sopan santun dalam pergaulan. Bila
etika masih dalam angan-angan disebut dengan budi luhur dan bila diwujudkan
dalam tingkah laku disebut dengan budi pekerti yang baik.
Di dalam masa sekarang kali yuga
dimana peradaban manusia semakain meningkat, namaun etika, moralitas, budhi
pekerti serta sepritual manusia semakin
terkikis dan semakin memudar karena lebih mementingkan hawa nafsu serta harta
dan egois yang membelenggu dalam dirinya, untuk menjadi seorang yang dihormati.
Perubahan etika atau tatasusila dalam kehidupan dizaman sekrang sangatlah
dahsyat dan mmencangkup terhadap semua aspek dan kompleks, serta terjadinya
pergeseran nilai-nilai yang luhur yang telah diwarisi oleh leluhur kearah yang
lebih negatif. Sehingga diperlukannya suatu gerakan dan kita sebagai generasi
muda mewujudkan nilai-nilai luhur serta kehidupan yang harmonis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Etika dan Moralitas
Kata etika berasal dari bahasa yunani “ethos” yang mempunyai banyak arti
seperti watak, perasaan, sikap, perilaku, karakter, tatakrama, tatasusila,
sopan santun, cara berpikir dan lain-lain. Sementara itu bentuk jamak dari kata
“ethos adalah “ta etha” yang berarti adat kebiasaan. Sedangakan moralitas
dengan kata asal moral yang memiliki pengertian sama dengan etika berasal dari
bahasa Latin “mos” (jamaknya “mores”) yang berarti kebiasaan atau adat. Jadi pengertiaannya
sama dengan “ta etha” atau ethos yaitu adat kebiasaan. Dengan latar belakang
pengertian yang sama seperti itu, maka sudah zaman dahulu etika dipakai untuk
menunjukakan filsafat moral. Etika lalu diartikan sebagai ilmu tenang apa yang
biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan atau sebagai ilmu pengetahuan
tentang asas-asas akhlak atau moral.
Disamping
pengertian termaksud diatas, makna lain mengenai etika dan
moralitas dapat pula dijelaskan seperti dibawah ini:
Etika yang mempunyai makna hampir sama
dengan moral yaitu kebiasaan atau adat. Dalam hal ini moral mengandung makna
berkenaan dengan perbuatan yang baik dan buruk, atau memahami perbedaan antara
yang baik dan yang buruk. Disamping itu dikenal pula konsep moralitas, yaitu
sistem nilai yang terkandung dalam petuah, nasihat, perintah atau aturan yang
diwariskan secara turun tumurun melalui agama kebudayaan, tentang bagaimana
manusia harus hidup agar menjadi benar-benar baik.
Moralitas memberikan manusia petunjuk atau aturan tentang bagaimana harus
hidup, bertindak yang baik dan menghindari perilaku yang tidak baik. Moralitas
juga bisa diartikan sebagai kualitas perbuatan manusia, sehingga perbuatan
seseorang dapat dikatakan baik atau buruk, salah atau benar. Disini dapat
dikatakan bahwa moralitas itu bersifat universal dalam arti terlepas dari
budaya, suku, agama maupun tingkat perbedaan masyarakatnya.
Dalam hal ini dikatakan bahwa moralitas itu
bersumber dari hati nurani. Sedangkan etika berdasarkan kepada hal-hal diluar
dirinya seperti kebiasaan atau norma-norma berlaku dimasyarakat.
2.2. Pengertian
Etika dalam Agama Hindu
Etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas
akhlak/moral, sebuah refeksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral
yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik
secara pribadi maupun sebagai kelompok.
Pengertian etika lebih jauh diuraikan juga dalam kamus besar bahasa indonesia
edisi tahun 1988 (bertens,2004) kamus termaksud membedakan tiga makna mengenai
etika yaitu :
a. Ilmu tentang apa
yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
b. Kumpulan asas atau nilai
yang berkenaan dengan akhlak.
c. Nilai mengenai
benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat.
Dalam agama Hindu, etika dinamakan sebagai susila yang
diartikan sebagai kebiasaan atau tingkahlaku manusia yang baik, karena itu
dalam agama hindu, etika dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari tata nilai,
tentang baik dan buruknya suatu perbuatan, sihingga muncul suatu situasi yang
singkron antar sesame manusia, antar manusia dengan lingkungan sekitarnya.
Salah satu aspek yang dibahas dalam etika adalah tentang moral. Etika juga
diartikan sebagai rasa cinta, kasih sayang. Dimana seorang yang menerima etika
itu adalah karena ia mencintai dirinya sendiri dan menghargai orang lain, sifat
tidak egoistis melaikan humanistis (pudja, 1984:57-58)
Pengertian etika dalam agama hindu adalah bagaimana menentukan sikap,
tingkah laku yang seharusnya dilakukan berdasarkan ajaran agama hindu, yang
mana dalam ajaran agama hindu merupakan ajaran kebenaran, kebaikan atas
perintah Tuhan itu sendiri, yang berkaitan dengan sebuah tujuan mulia yaitu
untuk mencapai tujuan hidup dalam ajaran agama hindu.(Moksartam jagat hita ya
caiti dharma).
2.3. Etika dan
Moralitas Dalam Kerangka Dasar Agama Hindu
Dalam kerangka agama hindu yaitu terdiri dari :
1) Tattwa atau filsafat agama hindu
2) Susila atau Etika,
3) Upacara atau Ritual Agama Hindu.
Dengan demikian etika merupakan salah satu
dari ketiga kerangka Agama Hindu, yang merupakan pelaksanaan ajaran agama dalam
kehidupan sehari-hari walaupun ketiganya tidak dapat dipisah-pisahkan karena
merupakan suatu kesatuan yang utuh. Etika adalah pengetahuan tentang
kesusilaan. Kesusilaan berbentuk kaidah-kaidah yang berisi larangan-larangan
atau suruhan-suruhan untuk berbuat sesuatu. Tentunya etika yang didasari oleh
ajaran agama hindu begitu juga moralitas yang merupakan implementasi dari
ajaran agama hindu dalam berhubungan dan berhadapan dengan sesama beserta
ciptaannya secara harmonis.
Berdasarkan uraian tersebut di
atas, Agama Hindu sangat menekankan kemurnian atau kesucian hati sebagai wujud
transformasi diri, karena sesungguhnya akhir dari pendidikan agama adalah
perubahan karakter, dari karakter manusia biasa menuju karakter manusia devatà,
yakni manusia berkeperibadian mulia (dari manava menuju madhava).
Usaha untuk menyucikan diri merupakan langkah menuju kesatuan dengan-Nya, yang
berarti juga menumbuhkan kesadaran persaudaraan sejati terhadap semua makhluk
ciptaan-Nya, karena dalam pandangan kesatuan ini (advaita) semua makhluk
adalah bersaudara (vasudhaivakutumbhakam).
Maharsi Manu peletak dasar hukum yang
mesti ditegakkan, dalam mengembangkan pendidikan moralitas baik dalam rumah
tangga, di sekolah maupun dalam masayarakat, setiap anggota masyarakat
hendaknya dapat merealisasikan 10 jenis pelaksanaan Dharma, yaitu: “Sepuluh
macam bentuk pelaksananan Dharma hendaknya dilaksanakan oleh seseorang, yaitu:
(1). Dhritih (merasa puas,
bersyukur atas apa yang diperoleh),
(2). Ksama (mampu dan mau
memberi maaf),
(3). Dama (rendah hati),
(4). Asteyam (tidak
mencuri/mengambil milik orang lain),
(5). Saucam (hidup suci),
(6). Indriyangraha (mengendalikan
nafsu indria),
(7). Dhìh (mengembangkan
intuisi dan kecerdasan),
(8). Vidya (mencari &
menambah ilmu pengetahuan),
(9). Satyam (senantiasa hidup
jujur),
(10). Akrodha (mampu
mengendalikan emosi/ kemarahan)”
Manavadharmasastra
VI.92.
2.4. Etika Sebagai
Aturan Tingkah Laku Yang Baik
Untuk dapat melaksanakan etika sebagai aturan tingkah laku yang baik, dapat
dengan menerapkan ajaran-ajaran Hindu seperti, catur marga yaitu empat jalan kesempurnaan hidup, Tri kaya
Parisudha yaitu tiga perilaku yang baik, Panca yama brata yaitu lima cara
pengendalian diri,
dasa yama brata
yaitu sepuluh cara pengendalian diri, dasa dharma yaitu sepuluh perbuatan baik berdasarkan
agama, catur purusa
artha yaitu empat cara untuk memenuhi hidup, catur paramita yaitu empat berbuat
luhur, tri hita karana yaitu tiga cara mencapai kebahagiaan hidup, asta brata
yaitu delapan cara pengendalian dan mengikuti sifat-sifat para dewa.
Etika sebagai aturan tingkah laku yang baik adalah merupakan aturan-aturan yang
harus diterapkan dalam hal melakukan sesuatu sehingga dapat berguna baik untuk
diri sendiri maupun untuk orang lain, oleh karena etika dapat memberikan
pelajaran tentang tingkah lalu manusia bukan saja untuk menentukan kebenaran,
tetapi juga memahami kebaikan atas perilaku manusia.
Menerapkan konsepsi berlandaskan hukum sebab akibat karena perbuatan yang baik
akan selalu menghasilkan pahala yang baik dan demikian sebaliknya. Konsepsi ini
merupakan landasan bagi pengendalian diri dan dasar penting bagi
pembinaan moral dalam berbagai segi kehidupan, sebagai aturan tingkah laku yang
baik seharusnya terus dikembangkan dan dijalankan sehingga tercapai tujuan utama.
Ada beberapa sumber hukum etika dalam ajaran agama Hindu
yang dapat dijadikan pedoman dalam bertingkah laku yang baik. Adapun sumber
hukum etika Hindu yaitu sebagai berikut:
“Yang perlu dibicarakan sekarang
Sruti yaitu catur Veda dan Smerti yaitu Dharmasastra, Sruti dan smrti
kedua-duanya harus diyakinkan, dituruti ajaran-ajarannya pada setiap usaha,
jika telah demikian, maka sempurnalah kebaikan tindakan anda dalam bidang
dharma.”
Sarasamcucaya, sloka 37
“Susila itu adlah yang paling
utama(dasar mutlak) pada titisan sebagai manusia, jika ada prilakau (tindakan)
titisan sebagai manusia itu tidak susila, apakah maksud orang itu dengan
hidupnya, dengan kekuasaan, dengan kebijaksanaan, sebab sia-sia itu semuanya (
hidup, kekuasaan dan kebijaksanaan) jika tidak ada penerapan kesusilaan pada
perbuatan(praktek susila)”
Sarasamuccaya, sloka 160
Seluruh pustaka suci Veda merupakan
sumber pertama dari Dharma, kemudian adat istiadat, lalu tingkahlaku yang
terpuji dari orang bijak yang mendalami ajaran suci Veda, juga tata cara
kehidupan orang suci dan akhirnya kepuasam pribadi.
Manava Dharmasastra II.6
Menurut
Pudja(1973:64) sloka dalam Menava Dharmasastra tersebut merupakan gagasan yang
menyatakan sumber hukum etika Hindu yang diatur secara kronologis. Sruti-Smerti-Sila-Acara-Atmanastusti.
Jadi untuk mendapatkan kebenaran, untuk mengetahui baik-tidaknya suatu tingkah
laku sseorang dan untuk menentukan apa yang harus dan apa yang tidak boleh
dikerjakan, maka memahami Hukum etika diatas merupakan hal yang bijaksana untuk
melaksanakan.
2.5. Globalisasi yang mempengaruhi
Moralitas dan Etika.
Globalisasi telah menimbulkan semakin
tingginya intensitas pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal dan global.
Sistem nilai budaya lokal yang selama ini digunakan sebagai acuan oleh
masyarakat tidak jarang mengalami perubahan karena pengaruh nilai-nilai budaya
global, terutama dengan adanya kemajuan teknologi informasi mempercepat proses
perubahan tersebut. Proses globalisasi telah pula merambah kehidupan agama yang
serba sakral menjadi sekuler, yang dapat menimbulkan ketegangan bagi umat
beragama. Nilai-nilai yang luhur
selama ini
telah mengalami perubahan yang pada gilirannya menimbulkan keresahan psikologis
dan krisis identitas di kalangan masyarakat.
Agama Hindu sesuai dengan namanya yakni
Sanatana Dharma, agama yang abadi atau berlaku sepanjang jaman
benar-benar menjadi pedoman, suluh penerang yang memberikan kebahagiaan kepada
umatnya. Kondisi masyarakat dewasa ini nampaknya persis sama dengan penggambaran
yang terdapat dalam Visnu Purana, sebagai berikut:
“Masyarakat
hancur karena harta benda hanya berfungsi meningkatkan status
sosial/kemewahan bagi seseorang, materi menjadi dasar kehidupan kepuasan
hidup hanyalah kenikmatan seks antara laki-laki dan wanita,
dusta menjadi sumber kesuksesan hidup. Seks merupakan satu-satunya sumber
kenikmatan dan kesalahan merupakan hiasan
bagi kehidupan spiritual”.
Begitu juga yang dijelaskan, di dalam kitab Vanaparva, Mahabharata (CLXXXVIII) dijumpai
keterangan serupa dapat kita jumpai sebagai berikut.
“Pada jaman Kaliyuga para Brahmana tidak lagi melakukan
upacara yajña dan mempelajari kitab suci Veda. Mereka meninggalkan tongkat dan
kulit menjangannya dan menjadi pemakan segala
(sarvabhàkûa). Para Brahmana berhenti melaksanakan pemujaan dan
para Sudra menggantikan hal itu (32-33)”.
“Kelaparan membinasakan kehidupan manusia, jalan-jalan
raya dipenuhi oleh wanita yang reputasinya jelek. Setiap perempuan
bertengkar/bermusuhan dengan suaminya dan tidak memiliki sopan santun (42)”
“Para Brahmana diliputi oleh dosa dengan membunuh
para dwijati dan menerima sedekah dari para pemimpin yang tidak jujur (43)”
“Pada jaman itu orang - orang bertentangan
hidupnya dengan nilai-nilai moralitas, mereka kecanduan dengan minuman keras,
mereka melakukan penyiksaan walaupun di tempat tidur gurunya. Mereka sangat
terikat oleh keduniawian. Mereka hanya mencari kepuasan duniawi terutama daging
dan darah (48)”
“Pada jaman itu ashram-ashram para pertapa dipenuhi oleh
orang-orang berdosa dan orang-orang angkara murka yang malang yang selalu
mengabdikan hidupnya pada ketergantungan duniawi (49)”
“Pada jaman itu orang-orang tidak suci baik dalam pikiran
dan perbuatannya karena mereka iri hati dan
dengki. Bumi ini dipenuhi oleh orang-orang yang penuh dosa dan
tidak bermoral
(51)”.
“Pada jaman Kaliyuga para pedagang melakukan
berbagai bentuk penipuan, menjual barang - barangnya dengan ukuran
dan timbangan yang tidak benar (53)”.
“Pada jaman Kaliyuga orang-orang budiman hidupnya miskin
dan umurnya pendek. Orang-orang yang penuh dosa menjadi kaya raya dan memiliki
umur panjang (55)”.
“Gadis-gadis berumur 7 dan 8 tahun sudah melahirkan
anak-anak dan anak-anak laki berumur 10 atau 12 tahun telah menjadi ayah (60)”.
“Orang-orang ketika berumur 16 tahun sudah jompo
dan segera setelah itu ajalpun menjemput (61)”
“Para wanita mudah celaka, melakukan
perbuatan yang tidak pantas dan melakukan perbuatan yang
tidak terpuji, menipu suami-suami mereka yang berbudi pekerti
luhur, melupakan mereka bahkan berhubungan dengan pelayannya dan atau dengan
binatang sekalipun (63)”
Lebih jauh di dalam kakawin berbahasa Jawa Kuno, Nitisastra yang rupanya
merupakan saduran dari Canakya Nitisastra (IV.7)
dalam bahasa Sanskerta dinyatakan sebagai berikut.
“Sesungguhnya
bila jaman Kali datang pada akhir yuga, hanya kekayaan /harta benda yang sangat
dihargai. Tidak perlu dikatakan lagi, bahwa orang yang saleh,
orang-orang yang pandai akan mengabdi kepada orang orang yang kaya. Semua
ajaran rahasia kepanditaan lenyap, keluarga-keluarga dan para pemimpin yang
bijaksana menjadi hina papa. Anak-anak menipu dan mengumpat orang
tuanya. Orang-orang hina akan menjadi saudagar kaya
(memperoleh kekayaan dengan jalan curang), mendapat kemuliaan
dan kepandaian”.
Bila nilai-nilai moralitas tidak
diindahkan lagi oleh orang-perorangan (individu) maupun oleh masyarakat, maka
ciri-ciri yang digambarkan pada jaman Kaliyuga itu merupakan kebenaran.
Nilai-nilai moralitas semestinya menjadi pegangan hidup setiap orang, namun
karena trend jaman Kali lebih menekankan pleasure oriented , maka hal
itu akan mudah ditinggalkan.
Dengan demikian perlulah pengembangan
budhi pekerti yang akan mencegah segala sesuatunya dapat membawa pengerusak
atau kehancuran kekacauan atau ketidak teraturan, yang akibat dari keyakinan
untuk berperilaku yang tidak diharapkan.
2.6.
Susila dalam Pendidikan Hindu
Dalam sarasamuscaya sloka 159
disebutkan :
“Sebab triloka ini sekalipun, pasti akan kalah dan dikuasai oleh orang yang teguh imannya melaksanakan
kesusilaan, karena tidak ada sesuatu yang tidak tercapai oleh orang yang susila(susilawan)”.
Landasan susila adalah : Tat Twam Asi
berarti Dikau itu, semua mahluk adalah Engkau. Trikaya
Parisudha artinya tiga perbuatan yang harus disucikan antara lain : manacika,
wacika dan kayika, Catur Paramita artinya empat sifat yang harus dikembangkan
seperti : maitri cinta kasih yang universal, karuna : sifat kasih sayang sesama
untuk menolong mahluk lain dari kesusahan, mudita : meninbulkan rasa simpati
dan ramah tamah, upeksa:mawasdiri. Panca Sraddha yaitu percaya adanya: Brahman,
Atman, Karmaphala, Punarbhawa dan Moksa.
Adapun tujuan susila atau etika dan
moralitas Agama Hindu :
ü Untuk membina
agar umat hindu dapat memelihara hubungan baik, hidup rukun dan harmonis dengan
keluarganya ataupun dengan orang lain.
ü Untuk
menghindarkan adanya hukum rimba, dimana yang kuat menindas atau memperalat
yang lemah.
ü Untuk membina
umat hindu dapat menjadi manusia yang baik dan berbudhi luhur.
ü Untuk membina
agar umat hindu selalu bersikap dan bertingkah laku baik, termasuk selalu
berbuat baik dengan siapapun (Suhardana, 2006 : 21)
Demikian pula disebutkan dalam sastra
suci “sesungguhnya bahwa apapun tingkah
laku ciptaan itu, demikian pula kedudukannya menurut kelahirannya, saya akan
sampaikan berikut ini dengan sesungguhnya”. (Pudja, Menawadharmasastra
I.42:39)
Ajaran susila memiliki arti: su adalah
indah, baik dan sila artinya perbuatan, tingkah laku, jadi susila artinya
perbuatan (laksana, tingkah laku) yang baik. Lawan kata susila adalah asusila
tingkah laku yang tidak baik (dursila). Susila adalah juga disebut dengan etika
hindu, etika sangat dekat maknanya dengan kata moral. Kata moral yang
berasal dari kosa kata bahasa Latin (berasal dari kata mos bentuk
singular, mores bentuk jamak) yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1988) disamakan maknanya dengan kata etika. Jika sekarang kita memandang arti
kata moral, perlu kita simpulkan bahwa artinya sama dengan etika
menurut arti pertama tadi, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau sesuatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Kita mengatakan, misalnya bahwa perbuatan seseorang tidak bermoral. Dengan itu
dimaksudkan bahwa kita menganggap orang itu melanggar nilai-nilai dan
norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau kita mengatakan bahwa
kelompok pemakai narkotika mempunyai moral yang bejat, artinya mereka berpegang
pada nilai-nilai dan norma-norma yang tidak baik.
Moralitas (dari kata
sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan moral, hanya
terdapat nada yang lebih abstrak. Kita berbicara tentang moralitas suatu
perbuatan, artinya, segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya. Moralitas
adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik
buruk (Berten, 1997:7).
Etika dan moralitas dalam pendidikan
Hindu adalah hal yang sangat penting karena merupakan aktualisasi konsep ajaran
veda yang nyata dalam kehidupan sehari hari. Aneka perubahan budaya sebagai
akibat terjadinya kontak belajar budaya antara lain :
(a) Internalisasi adalah proses
penanaman budaya yang menyangkut kepribadian, seperti perasaan, hasrat, nafsu,
dan sebagainya.
(b) Enkulturasi adalah pembudayaan
atau lebih tepatnya pemberdayaan yang ke arah positif, misalkan membudayakan
tradisi selamatan, gotong royong, sumbangan, dan sebagainya.
(c) Akulturasi adalah
kontak budaya satu dengan yang lain sehingga terjadi penyatuan budaya.
(d) Asimilasi adalah campuran kental
dari dua budaya atau lebih, misalkan saja terjadinya sinkritisme antara
Hindu-Jawa menjadi kaum abangan.
(e) Invensi adalah temuan-temuan
baru budaya sehingga menghasilkan inovasi (pembaharuan) yang meyakinkan, dan
(f) Inovasi adalah
langkah strategis untuk memperbaharui budaya tertentu agar lebih fungsional
bagi pendukungnya, inovasi juga sering disebut invention of
tradition.
Sejalan dengan tujuan agama adalah
untuk mencapai “Jagadhita” dan “Moksa” yang diformulasikan dalam
sebuah kalimat sanskerta sebagai berikut: “Atmano
Moksartham Jagadhitaya ca” maka tujuan
pendidikan Hindu pada hakikatnya adalah sama dengan formulasi tujuan agama
tersebut di atas, yakni untuk mencapai “Jagadhita” (kesejahtraan dan
kebahagiaan di dunia ini) dan “Moksa” (kebahagiaan
abadi, bersatunya Atma dengan
Brahman. Di Indonesia, tujuan pendidikan dinyatakan untuk mengantarkan seorang
anak didik menuju tingkat kedewasaan. Kata dewasa berasal dari kata “devasya”
(bahasa Sanskerta) yang berarti seseorang memiliki sifat-sifat dewa. Di dalam
Bhagavadgìtà sifat-sifat atau kecenderungan seperti sifat-sifat dewa disebut “Daivi-Sampat”,
yaitu semua sifat dan prilaku yang mulia. Swami Sivananda dalam All About
Hinduism menjelaskan tujuan pendidikan adalah untuk mengantarkan menuju jalan
yang benar dan mewujudkan kebajikan, yang dapat memperbaiki karakter seseorang
(menuju karakter yang mulia) yang dapat menolong seseorang mencapai kebebasan,
kesempurnaan dan pengetahuan tentang sang Diri (Atma), dan dengan
demikian seseorang akan dapat hidup dengan kejujuran, hal-hal yang mengarahkan
seperti tersebut adalah merupakan pendidikan yang sejati.
Sejalan dengan penjelasan di atas, maka
secara sederhana dapat dikatakan bahwa latar belakang falsafah dalam pendidikan
menurut Veda, adalah untuk menjadikan “manava” (umat manusia) meningkat
kualitas hidup dan kehidupannya menjadi para “madhava”, yakni umat
manusia yang memiliki kelembutan, kasih sayang dan kearifan atau kebijaksanaan
yang tinggi, tidak sebaliknya “manava” jatuh menjadi “danava-danava”,
yakni manusia dengan karakter raksasa, rakus, dengki dan berbagai sifat buruk
lainnya. Di dalam Taittirìya Upaniûad (7) dapat ditemukan tentang kewajiban
seorang siswa untuk dengan sungguh-sungguh menempa diri, berbicara
benar/membicarakan kebenaran, rajin belajar dan mengikuti ajaran Dharma serta
tidak lalai dan membuang waktu (satyavada-dharmacara-svadhyaya-na pramada).
Dengan memahami hakikat dan tujuan
pendidikan menurut ajaran suci Veda yang merupakan sabda Tuhan Yang Maha Esa,
kiranya kita dapat memetik nilai-nilai yang terkandung dalam sistem pendidikan
tersebut, mengingat ajaran suci Veda bersifat “anadi-ananta-nirvigraha”
yakni tidak berawal-tidak berakhir, tidak berubah, abadi dan dapat berlaku
sepanjang masa. Dalam Konsepsi Desa, Kala, dan Patra, yaitu :
manusia yang berintikan penyesuaian atau keselarasan serta dapat menerima
perbedaan dan persatuan sesuai dengan motto Bhineka Tunggal Ika. Konsepsi ini
memberikan landasan yang luwes dalam komunikasi ke dalam maupun ke luar,
sepanjang tidak menyimpang dari essensinya.Namun nama
yang paling agung yang pernah diberikan oleh manusia pada Tuhan adalah
Kebenaran. Kebenaran adalah buah dari kesadaran; oleh karena itu carilah di
dalam jiwa.
Dalam hubungan ini, dari perspektif
Hindu diketengahkan model pendidikan agama yang inklusif yang diajarkan oleh
Sri Sathya Narayana, seorang yogi besar dewasa ini, seorang guru
spiritual yang menekankan kembali betapa pentingnya 5 (lima) dasar
nilai-nilai kemanusiaan, yang terdiri dari:
1) Satya: kebenaran
(truth), seseorang hendaknya berpegang teguh kepada ajaran agama yang
dianutnya.
2) Dharma: tindakan
yang benar (right conduct), seseorang hendaknya senantiasa berbuat baik
dan benar.
3) Prema: cinta
kasih (love), seseorang hendaknya senantiasa mengembangkan cinta kasih
kepada semua makhluk dan alam semesta ciptaan-Nya.
4) Shanti: kedamaian
(peace), seseorang hendaknya dapat mewujudkan kedamaian hati dan membuat
suasana sejuk terhadap lingkungannya.
5) Ahimsa: tanpa
kekerasan (non violence), seseorang hendaknya tidak melakukan tindakan
kekerasan, tidak menyiksa apalagi sampai membunuh seseorang
2.7.
Pengembangan Budhi Pekerti dalam Pendidikan
Usaha pengembangan budhi pekerti dalam pendidikan adalah suatu pengembangan
yang dilakukan terhadap perilaku-perilaku yang mulia dalam pendidikan. Agar
pengembangan budhi pekerti dalam pendidikan, dapat selalu menjadi pedoman atau
tuntunan berperilaku bagi seseorang, maka pengembangan budhi pekerti ini
haruslah memiliki acuan yang jelas. Dalam hal ini pengembangan budhi pekerti
mengacu pada ajaran suci agama hindu (dharma).
Karena pengembangan budhi pekerti,
merupakan masalah yang sangat penting dalam kehidupan manusia sehari-hari, maka
perlulah dilakukan peningkatan berperilaku yang mulia. Ini semua dilakukan
untuk pencapaian sebuah tujuan. Melalui pendidikan-pendidikan inilah yang akan
dapat menghasilkan perubahan perilaku-perilaku dalam kehidupan ini. Perilaku
mulia, seperti yang diharapkan. Begitu pula dengan mendapatkan ilmu
pengetahuan, tanpa diiringi oleh budhi pekerti yang mulia, tidak akan
menjadi berguna karena pemanfaat ilmu pengetahuan yang benar tentu akan
memiliki arti apabila dapat dipergunakan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan
didunia ini.
Kepandaian yang dihasilkan oleh ilmu
pengetahuan dalam pendidikan, jika diiringi oleh budhi pekerti individunya akan
menjadi kecerdas dan bijaksana, sehingga kecerdasan dan kebijaksanaan ini pastilah
sangat berguna bagi semua mahkluk yang ada. semakin terasa dampaknya dalam
individu-individu seseorang dalam bermasyarakat karena akan dapat saling
menguntungkan. Sehingga pengembangan budhi pekerti dengan baik dapatlah
dihasilkan, yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia ini.
Pelaksanaan Budhi Pekerti adalah
merupakan pelaksanaan yang sangat diharapkan karena merupakan pelaksanaan yang
baik dan luhur dapat menghasilkan perbaikan-perbaikan yang berguna bagi sesama
manusia dan beserta ciptaannya. Pendidikan Agama Hindu berwawasan multikultural
merupakan hal yang sangat mendesak untuk segera dilaksanakan di Indonesia guna
sedini mungkin mencegah hal-hal yang dapat merupakan potensi konflik yang
berbau agama, suku, ras dan antar golongan dalam masyarakat (SARA). Untuk
mencegah hal tersebut di masa yang akan datang pendidikan multikultural dapat
dilakukan mulai dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat dengan
penekanan, seperti halnya peendidikan pada umumnya adalah keteladanan dari
orang tua di rumah, para guru di sekolah, tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh
masyarakat di masing-masing komunitas masyarakat.
Penerapan pendidikan multikultural di
sekolah dimulai dengan revisi kurikulum dan bahan ajar, pengadaan bahan ajar
yang memadai, serta peningkatan kualitas guru dan dosen dalam meningkatkan
pemahaman terhadap pendidikan multikultural ini.
Pendidikan Agama Hindu multi berwawasan
kultural hendaknya ditanamkan sejak dini kepada setiap anak didik dengan
demikian pada masanya generasi muda ini akan mudah beradaptasi dengan
lingkungan bersama yang terdiri dari berbagai etnis, budaya dan agama.
Berhasilnya pendidikan Agama Hindu berwawasan multikultural ini
dikembangkan di Indonesia bila didukung oleh Pemerintah dan semua komponen bangsa,
untuk itu sosialisasi pendidikan multikultural ini sangat perlu lebih
ditingkatkan. Salah satu upaya untuk hal tersebut adalah mengadakan berbagai
seminar, dialog, lokakarya, sarasehan dan diskusi untuk menyatukan visi
dan menyamakan misi dalam membangun dan mengembangkan pendidikan multikultural.
Salah satu unsur budaya yang paling
rentan mendapatkan tantangan di era globalisasi ini adalah sistem religi dan
upacara keagamaan. Salah satu dari sistem religi tersebut adalah masalah etika
dan sopan santun prilaku anggota masyarakat, karena pengaruh globalisasi, maka
sesuatu di masa silam yang dianggap tabu, kini hal itu tidak lagi menjadi
sesuatu yang tabu. Demikian melalui berbagai media TV kita dapat menyaksikan
hal-hal yang oleh sebagian anggota masyarakat dianggap sebagai pornografi atau
pornoaksi, namun sebagian lainnya menganggap hal tersebut hal yang biasa. Kini
semakin maraknya penyalahgunaan obat-obat psikotropika (narkoba) di kalangan
generasi muda bangsa merupakan kendala dalam membangun pendidikan
multikultural. Sejalan dengan hal tersebut, dalam berbagai kesempatan Menteri
Agama H. Said Agil Husin Al’ Munawar menyampaikan tentang berbagai tantangan
yang dihadapi umat beragama, di antaranya dirumuskan sebagai empat tantangan
besar bagi umat beragama yang patut kita antisipasi yaitu :
1). Mencuatnya fanatisme yang sempit,
mengganggap dirinya sendiri yang paling baik dan
benar, sehingga yang lainnya dianggap sesat
2). Anarkis, pemaksaan kehendak,
sehingga terjadi konflik yang berkepanjangan.
3). Sadisme, sikap yang kejam di luar tatanan dan batas
kemanusiaan.
4). Merosotnya mental moral yang
diakibatkan oleh berbagai faktor seperti pornografi, narkoba dan
lain-lain.
Mengantisipasi empat tantangan umat
beragama di atas, sekaligus pula juga merupakan tantangan budaya, Menteri Agama
menetapkan Program Inti Departemen Agama, yakni:
1)
Terwujudnya
masyarakat yang agamis, berperadaban luhur, berbasiskan hati nurani yang
disinari oleh ajaran agama.
2)
Terhindarnya
prilaku radikal, ekstrim, tidak toleran dan
eksklusif dalam kehidupan beragama, sehingga terwujud masyarakat yang
rukun dan damai dalam kebersamaan dan ketentraman.
3)
Terbinanya
masyarakat agar menghayati, mengamalkan ajaran agama dengan sebenar-benarnya, mengutamakan
persamaan, menghormati perbedaan, melalui internalisasi ajaran agama.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa betapa pentingnya susila atau etika
dalam kehidupan manusia. Tanpa etika manusia tidak akan menemukan keharmonisan dan
keselarasan. Etika sebagai penuntun dalam hidup yang telah diwariskan
turun-temurun. Perubahan etika dalam masyarakat di zaman globalisasi akan
menyebabkan pergeseran nilai-nilai yang luhur, karena tak dapatnya menyaring
atau menfilter budaya global yang semakin mengkikis sistem nilai budaya local
yang telah dijadikan acuan dalam kehidupan bermasyarakat.
Perlunya
filterisasi budaya global terhadap masyrakt, serta pentingnya perkembangan
budhi pekerti di dalam pendidikan sekolah maupun diluar sekolah secara lebih
intens sehingga dizaman global dan kali yuga ini dapat bangkit serta menjadi
acuan kembali mdalam manata kehidupan. Susila(etika), moral, budhipekerti, dan
Agama Hindu tidak dapat dipisahkan karena merupakan dasar yang kuat dalam
menghadapi masa globalisasi ini yang telah mendapat mengkesamping nilai-nilai
luhur didalam budaya local. Dinamika etika yang terjadi didalam masyrakat
terjadi dikarenakan masyrakat bersifat dinamik yang dapt berubah, namun
perubahan ini hendak kearah yang lebih positif serta kemajuan bersama, bukan
kearah yang negative yang dapat merugikan segala aspek. Didalam kehidupan
etika,susila,budhipekerti,pergaulan, serta nilai budaya local perlulah lebih
dipahami serta dapat dilaksanakan dengan maksimal tanpa harus kita menjadi
orang yang premitif yang menutup perkembangan teknologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar