Minggu, 28 Februari 2016

etika dan moral hindu



BAB I
PENDAHULUAN

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa tujuan beretika yang baik untuk mimbina hubungan yang harmonis atar manusia, dalam ajaran agama Hidu tidak hanya hubungan antara manusia, namun juga hubungan manusia dengan tuhan dan hubungan manusia dengan alam. Tata susila dalam ajaran agama Hindu merupakan salah satu dasar dari tiga kerangka dasar agama Hindu disamping sraddha dan acara yang bersumber pada kitab suci veda, dan susastra Hindu lainya.
Didalam kita hidup bermasyarakat serta karena manusia merupakan makhluk sosial tidak seorangpun boleh bertindak sesuka hati, seorang harus bias beradaptasi atau menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, tunduk dan patuh mengikuti peraturan yang berlaku dilingkannya. Dalam ajaran agama Hindu aturan atau peraturan bertingkah laku yang baik disebut ‘sila’ yang dalam bahasa Indonesia menjadi tata susila. Nama lain dari istilah tersebut adalah etika, etika berarti sopan santun dalam pergaulan. Bila etika masih dalam angan-angan disebut dengan budi luhur dan bila diwujudkan dalam tingkah laku disebut dengan budi pekerti yang baik.
Di dalam masa sekarang kali yuga dimana peradaban manusia semakain meningkat, namaun etika, moralitas, budhi pekerti  serta sepritual manusia semakin terkikis dan semakin memudar karena lebih mementingkan hawa nafsu serta harta dan egois yang membelenggu dalam dirinya, untuk menjadi seorang yang dihormati. Perubahan etika atau tatasusila dalam kehidupan dizaman sekrang sangatlah dahsyat dan mmencangkup terhadap semua aspek dan kompleks, serta terjadinya pergeseran nilai-nilai yang luhur yang telah diwarisi oleh leluhur kearah yang lebih negatif. Sehingga diperlukannya suatu gerakan dan kita sebagai generasi muda mewujudkan nilai-nilai luhur serta kehidupan yang harmonis.
BAB II
PEMBAHASAN



2.1. Etika dan Moralitas
            Kata etika berasal dari bahasa yunani “ethos” yang mempunyai banyak arti seperti watak, perasaan, sikap, perilaku, karakter, tatakrama, tatasusila, sopan santun, cara berpikir dan lain-lain. Sementara itu bentuk jamak dari kata “ethos adalah “ta etha” yang berarti adat kebiasaan. Sedangakan moralitas dengan kata asal moral yang memiliki pengertian sama dengan etika berasal dari bahasa Latin “mos” (jamaknya “mores”) yang berarti kebiasaan atau adat. Jadi pengertiaannya sama dengan “ta etha” atau ethos yaitu adat kebiasaan. Dengan latar belakang pengertian yang sama seperti itu, maka sudah zaman dahulu etika dipakai untuk menunjukakan filsafat moral. Etika lalu diartikan sebagai ilmu tenang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan atau sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak atau moral.
 Disamping pengertian termaksud diatas, makna lain mengenai etika dan moralitas dapat pula dijelaskan seperti dibawah ini:
Etika yang mempunyai makna hampir sama dengan moral yaitu kebiasaan atau adat. Dalam hal ini moral mengandung makna berkenaan dengan perbuatan yang baik dan buruk, atau memahami perbedaan antara yang baik dan yang buruk. Disamping itu dikenal pula konsep moralitas, yaitu sistem nilai yang terkandung dalam petuah, nasihat, perintah atau aturan yang diwariskan secara turun tumurun melalui agama kebudayaan, tentang bagaimana manusia harus hidup agar menjadi benar-benar baik.
            Moralitas memberikan manusia petunjuk atau aturan tentang bagaimana harus hidup, bertindak yang baik dan menghindari perilaku yang tidak baik. Moralitas juga bisa diartikan sebagai kualitas perbuatan manusia, sehingga perbuatan seseorang dapat dikatakan baik atau buruk, salah atau benar. Disini dapat dikatakan bahwa moralitas itu bersifat universal dalam arti terlepas dari budaya, suku, agama maupun tingkat perbedaan masyarakatnya.
            Dalam hal ini dikatakan bahwa moralitas itu bersumber dari hati nurani. Sedangkan etika berdasarkan kepada hal-hal diluar dirinya seperti kebiasaan atau norma-norma berlaku dimasyarakat.

2.2. Pengertian Etika dalam Agama Hindu

            Etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak/moral, sebuah refeksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok.
            Pengertian etika lebih jauh diuraikan juga dalam kamus besar bahasa indonesia edisi tahun 1988 (bertens,2004) kamus termaksud membedakan tiga makna mengenai etika yaitu :
a.       Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
b.      Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
c.       Nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat.
Dalam agama Hindu, etika dinamakan sebagai susila yang diartikan sebagai kebiasaan atau tingkahlaku manusia yang baik, karena itu dalam agama hindu, etika dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari tata nilai, tentang baik dan buruknya suatu perbuatan, sihingga muncul suatu situasi yang singkron antar sesame manusia, antar manusia dengan lingkungan sekitarnya. Salah satu aspek yang dibahas dalam etika adalah tentang moral. Etika juga diartikan sebagai rasa cinta, kasih sayang. Dimana seorang yang menerima etika itu adalah karena ia mencintai dirinya sendiri dan menghargai orang lain, sifat tidak egoistis melaikan humanistis (pudja, 1984:57-58)
            Pengertian etika  dalam agama hindu adalah bagaimana menentukan sikap, tingkah laku yang seharusnya dilakukan berdasarkan ajaran agama hindu, yang mana dalam ajaran agama hindu  merupakan ajaran kebenaran, kebaikan atas perintah Tuhan itu sendiri, yang berkaitan dengan sebuah tujuan mulia yaitu untuk mencapai tujuan hidup dalam ajaran agama hindu.(Moksartam jagat hita ya caiti dharma).

2.3. Etika dan Moralitas Dalam Kerangka Dasar Agama Hindu
            Dalam kerangka agama hindu yaitu terdiri dari :
1) Tattwa atau filsafat agama hindu
2) Susila atau Etika,
3) Upacara atau Ritual Agama Hindu.
 Dengan demikian etika merupakan salah satu dari ketiga kerangka Agama Hindu, yang merupakan pelaksanaan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari walaupun ketiganya tidak dapat dipisah-pisahkan karena merupakan suatu kesatuan yang utuh. Etika adalah pengetahuan tentang kesusilaan. Kesusilaan berbentuk kaidah-kaidah yang berisi larangan-larangan atau suruhan-suruhan untuk berbuat sesuatu. Tentunya etika yang didasari oleh ajaran agama hindu begitu juga moralitas yang merupakan implementasi dari ajaran agama hindu dalam berhubungan dan berhadapan dengan sesama beserta ciptaannya secara harmonis.  
 Berdasarkan uraian tersebut di atas, Agama Hindu sangat menekankan kemurnian atau kesucian hati sebagai wujud transformasi diri, karena sesungguhnya akhir dari pendidikan agama adalah perubahan karakter, dari karakter manusia biasa menuju karakter manusia devatà, yakni manusia berkeperibadian mulia (dari manava menuju madhava). Usaha untuk menyucikan diri merupakan langkah menuju kesatuan dengan-Nya, yang berarti juga menumbuhkan kesadaran persaudaraan sejati terhadap semua makhluk ciptaan-Nya, karena dalam pandangan kesatuan ini (advaita) semua makhluk adalah bersaudara (vasudhaivakutumbhakam).
Maharsi Manu peletak dasar hukum yang mesti ditegakkan, dalam mengembangkan pendidikan moralitas baik dalam rumah tangga, di sekolah maupun dalam masayarakat, setiap anggota masyarakat hendaknya dapat merealisasikan 10 jenis pelaksanaan Dharma, yaitu:   “Sepuluh macam bentuk pelaksananan Dharma hendaknya dilaksanakan oleh seseorang, yaitu:
(1). Dhritih (merasa puas, bersyukur atas apa yang diperoleh),
(2). Ksama (mampu dan mau memberi maaf),
(3). Dama (rendah hati),
(4). Asteyam (tidak mencuri/mengambil milik orang lain),
(5). Saucam (hidup suci),
(6). Indriyangraha (mengendalikan nafsu indria),
(7). Dhìh (mengembangkan intuisi dan kecerdasan),
(8). Vidya (mencari & menambah ilmu pengetahuan),
(9). Satyam (senantiasa hidup jujur),
(10). Akrodha (mampu mengendalikan emosi/ kemarahan)”
Manavadharmasastra VI.92.


2.4. Etika Sebagai Aturan Tingkah Laku Yang Baik
            Untuk dapat melaksanakan etika sebagai aturan tingkah laku yang baik, dapat dengan menerapkan ajaran-ajaran Hindu seperti, catur marga yaitu empat jalan kesempurnaan hidup, Tri kaya Parisudha yaitu tiga perilaku yang baik, Panca yama brata yaitu lima cara pengendalian diri, dasa yama brata yaitu sepuluh cara pengendalian diri, dasa dharma yaitu sepuluh perbuatan baik berdasarkan agama, catur purusa artha yaitu empat cara untuk memenuhi hidup, catur paramita yaitu empat berbuat luhur, tri hita karana yaitu tiga cara mencapai kebahagiaan hidup, asta brata yaitu delapan cara pengendalian dan mengikuti sifat-sifat para dewa.
            Etika sebagai aturan tingkah laku yang baik adalah merupakan aturan-aturan yang harus diterapkan dalam hal melakukan sesuatu sehingga dapat berguna baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, oleh karena etika dapat memberikan pelajaran tentang tingkah lalu manusia bukan saja untuk menentukan kebenaran, tetapi juga memahami kebaikan atas perilaku manusia.
            Menerapkan konsepsi berlandaskan hukum sebab akibat karena perbuatan yang baik akan selalu menghasilkan pahala yang baik dan demikian sebaliknya. Konsepsi ini merupakan  landasan bagi pengendalian diri dan dasar penting bagi pembinaan moral dalam berbagai segi kehidupan, sebagai aturan tingkah laku yang baik seharusnya terus dikembangkan dan dijalankan sehingga tercapai tujuan utama.
Ada beberapa sumber hukum etika dalam ajaran agama Hindu yang dapat dijadikan pedoman dalam bertingkah laku yang baik. Adapun sumber hukum etika Hindu yaitu sebagai berikut:
“Yang perlu dibicarakan sekarang Sruti yaitu catur Veda dan Smerti yaitu Dharmasastra, Sruti dan smrti kedua-duanya harus diyakinkan, dituruti ajaran-ajarannya pada setiap usaha, jika telah demikian, maka sempurnalah kebaikan tindakan anda dalam bidang dharma.”
Sarasamcucaya, sloka 37
“Susila itu adlah yang paling utama(dasar mutlak) pada titisan sebagai manusia, jika ada prilakau (tindakan) titisan sebagai manusia itu tidak susila, apakah maksud orang itu dengan hidupnya, dengan kekuasaan, dengan kebijaksanaan, sebab sia-sia itu semuanya ( hidup, kekuasaan dan kebijaksanaan) jika tidak ada penerapan kesusilaan pada perbuatan(praktek susila)”
Sarasamuccaya, sloka 160
Seluruh pustaka suci Veda merupakan sumber pertama dari Dharma, kemudian adat istiadat, lalu tingkahlaku yang terpuji dari orang bijak yang mendalami ajaran suci Veda, juga tata cara kehidupan orang suci dan akhirnya kepuasam pribadi.
Manava Dharmasastra II.6
Menurut Pudja(1973:64) sloka dalam Menava Dharmasastra tersebut merupakan gagasan yang menyatakan sumber hukum etika Hindu yang diatur secara kronologis. Sruti-Smerti-Sila-Acara-Atmanastusti. Jadi untuk mendapatkan kebenaran, untuk mengetahui baik-tidaknya suatu tingkah laku sseorang dan untuk menentukan apa yang harus dan apa yang tidak boleh dikerjakan, maka memahami Hukum etika diatas merupakan hal yang bijaksana untuk melaksanakan.

2.5. Globalisasi yang mempengaruhi Moralitas dan Etika.
Globalisasi telah menimbulkan semakin tingginya intensitas pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal dan global. Sistem nilai budaya lokal yang selama ini digunakan sebagai acuan oleh masyarakat tidak jarang mengalami perubahan karena pengaruh nilai-nilai budaya global, terutama dengan adanya kemajuan teknologi informasi mempercepat proses perubahan tersebut. Proses globalisasi telah pula merambah kehidupan agama yang serba sakral menjadi sekuler, yang dapat menimbulkan ketegangan bagi umat beragama. Nilai-nilai yang luhur selama ini telah mengalami perubahan yang pada gilirannya menimbulkan keresahan psikologis dan krisis identitas di kalangan masyarakat.
Agama Hindu sesuai dengan namanya yakni Sanatana Dharma, agama yang abadi atau berlaku sepanjang jaman benar-benar menjadi pedoman, suluh penerang yang memberikan kebahagiaan kepada umatnya. Kondisi masyarakat dewasa ini nampaknya persis sama dengan penggambaran yang terdapat dalam Visnu Purana, sebagai berikut:                                             
“Masyarakat hancur karena  harta  benda  hanya berfungsi meningkatkan status sosial/kemewahan bagi seseorang, materi menjadi dasar kehidupan kepuasan  hidup  hanyalah  kenikmatan  seks antara laki-laki dan wanita, dusta menjadi sumber kesuksesan hidup. Seks merupakan satu-satunya sumber  kenikmatan  dan  kesalahan  merupakan  hiasan  bagi  kehidupan spiritual”.

              Begitu juga yang dijelaskan, di dalam kitab Vanaparva, Mahabharata (CLXXXVIII) dijumpai keterangan serupa dapat kita jumpai sebagai berikut.
“Pada jaman Kaliyuga para Brahmana tidak lagi melakukan upacara yajña dan mempelajari kitab suci Veda. Mereka meninggalkan tongkat dan kulit  menjangannya  dan  menjadi  pemakan segala (sarvabhàkûa). Para Brahmana  berhenti  melaksanakan pemujaan dan para Sudra menggantikan hal itu (32-33)”.
“Kelaparan membinasakan kehidupan manusia, jalan-jalan raya dipenuhi oleh wanita yang reputasinya jelek. Setiap perempuan bertengkar/bermusuhan dengan suaminya dan tidak memiliki sopan santun (42)”
 “Para Brahmana diliputi oleh dosa dengan membunuh para dwijati dan menerima sedekah dari para pemimpin yang tidak jujur (43)”
“Pada  jaman  itu orang - orang bertentangan hidupnya dengan nilai-nilai moralitas, mereka kecanduan dengan minuman keras, mereka melakukan penyiksaan walaupun di tempat tidur gurunya. Mereka sangat terikat oleh keduniawian. Mereka hanya mencari kepuasan duniawi terutama daging dan darah (48)”
“Pada jaman itu ashram-ashram para pertapa dipenuhi oleh orang-orang berdosa dan orang-orang angkara murka yang malang yang selalu mengabdikan hidupnya pada ketergantungan duniawi (49)”
“Pada jaman itu orang-orang tidak suci baik dalam pikiran dan perbuatannya karena mereka  iri  hati  dan  dengki.  Bumi  ini dipenuhi oleh orang-orang yang penuh dosa dan tidak bermoral (51)”.                   
 “Pada jaman Kaliyuga para pedagang melakukan berbagai bentuk penipuan, menjual barang - barangnya  dengan  ukuran dan timbangan yang tidak benar (53)”.
                     
“Pada jaman Kaliyuga orang-orang budiman hidupnya miskin dan umurnya pendek. Orang-orang yang penuh dosa menjadi kaya raya dan memiliki umur panjang (55)”.
 “Gadis-gadis berumur 7 dan 8 tahun sudah melahirkan anak-anak dan anak-anak laki berumur 10 atau 12 tahun telah menjadi ayah (60)”.
 “Orang-orang ketika berumur 16 tahun sudah jompo dan segera setelah itu ajalpun menjemput (61)”
 “Para wanita mudah celaka,  melakukan perbuatan yang tidak pantas dan melakukan  perbuatan  yang  tidak  terpuji,  menipu suami-suami mereka yang berbudi pekerti luhur, melupakan mereka bahkan berhubungan dengan pelayannya dan atau dengan binatang sekalipun (63)”
                                                                                   
Lebih jauh di dalam kakawin berbahasa Jawa Kuno, Nitisastra yang rupanya merupakan saduran dari Canakya Nitisastra (IV.7) dalam bahasa Sanskerta dinyatakan sebagai berikut.
  
 “Sesungguhnya bila jaman Kali datang pada akhir yuga, hanya kekayaan /harta benda yang sangat dihargai. Tidak perlu dikatakan  lagi,  bahwa orang yang saleh, orang-orang yang pandai akan mengabdi kepada orang orang yang kaya. Semua ajaran rahasia kepanditaan lenyap, keluarga-keluarga dan para pemimpin yang bijaksana menjadi hina papa. Anak-anak menipu dan mengumpat  orang  tuanya. Orang-orang  hina  akan menjadi  saudagar kaya (memperoleh  kekayaan  dengan  jalan curang), mendapat kemuliaan dan kepandaian”.     

Bila nilai-nilai moralitas tidak diindahkan lagi oleh orang-perorangan (individu) maupun oleh masyarakat, maka ciri-ciri yang digambarkan pada jaman Kaliyuga itu merupakan kebenaran. Nilai-nilai moralitas semestinya menjadi pegangan hidup setiap orang, namun karena trend jaman Kali lebih menekankan pleasure oriented , maka hal itu akan mudah ditinggalkan.

Dengan demikian perlulah pengembangan budhi pekerti yang akan mencegah segala sesuatunya dapat membawa pengerusak atau kehancuran kekacauan atau ketidak teraturan, yang akibat dari keyakinan untuk berperilaku yang tidak diharapkan.
2.6. Susila dalam Pendidikan Hindu
Dalam sarasamuscaya sloka 159 disebutkan :
“Sebab triloka ini sekalipun, pasti akan kalah dan dikuasai oleh orang yang teguh imannya melaksanakan kesusilaan, karena tidak ada sesuatu yang tidak tercapai oleh orang yang susila(susilawan)”.
Landasan susila adalah : Tat Twam Asi berarti Dikau itu, semua mahluk adalah Engkau. Trikaya Parisudha artinya tiga perbuatan yang harus disucikan antara lain : manacika, wacika dan kayika, Catur Paramita artinya empat sifat yang harus dikembangkan seperti : maitri cinta kasih yang universal, karuna : sifat kasih sayang sesama untuk menolong mahluk lain dari kesusahan, mudita : meninbulkan rasa simpati dan ramah tamah, upeksa:mawasdiri. Panca Sraddha yaitu percaya adanya: Brahman, Atman, Karmaphala, Punarbhawa dan Moksa.
Adapun tujuan susila atau etika dan moralitas Agama Hindu :
ü  Untuk membina agar umat hindu dapat memelihara hubungan baik, hidup rukun dan harmonis dengan keluarganya ataupun dengan orang lain.
ü  Untuk menghindarkan adanya hukum rimba, dimana yang kuat menindas atau memperalat yang lemah.
ü  Untuk membina umat hindu dapat menjadi manusia yang baik dan berbudhi luhur.
ü  Untuk membina agar umat hindu selalu bersikap dan bertingkah laku baik, termasuk selalu berbuat baik dengan siapapun (Suhardana, 2006 : 21)
Demikian pula disebutkan dalam sastra suci “sesungguhnya bahwa apapun tingkah laku ciptaan itu, demikian pula kedudukannya menurut kelahirannya, saya akan sampaikan berikut ini dengan sesungguhnya”. (Pudja, Menawadharmasastra I.42:39)
Ajaran susila memiliki arti: su adalah indah, baik dan sila artinya perbuatan, tingkah laku, jadi susila artinya perbuatan (laksana, tingkah laku) yang baik. Lawan kata susila adalah asusila tingkah laku yang tidak baik (dursila). Susila adalah juga disebut dengan etika hindu, etika sangat dekat maknanya dengan kata moral. Kata moral yang berasal dari kosa kata bahasa Latin (berasal dari kata mos bentuk singular, mores bentuk jamak) yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) disamakan maknanya dengan kata etika. Jika sekarang kita memandang arti kata moral, perlu kita simpulkan bahwa artinya sama dengan etika menurut arti pertama tadi, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sesuatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kita mengatakan, misalnya bahwa perbuatan seseorang tidak bermoral. Dengan itu dimaksudkan bahwa kita menganggap orang itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau kita mengatakan bahwa kelompok pemakai narkotika mempunyai moral yang bejat, artinya mereka berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang tidak baik.
Moralitas (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan moral, hanya terdapat nada yang lebih abstrak. Kita berbicara tentang moralitas suatu perbuatan, artinya, segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik buruk (Berten, 1997:7).
Etika dan moralitas dalam pendidikan Hindu adalah hal yang sangat penting karena merupakan aktualisasi konsep ajaran veda yang nyata dalam kehidupan sehari hari. Aneka perubahan budaya sebagai akibat terjadinya kontak belajar budaya antara lain :
(a)    Internalisasi adalah proses penanaman budaya yang menyangkut kepribadian, seperti perasaan, hasrat, nafsu, dan sebagainya.
(b)   Enkulturasi adalah pembudayaan atau lebih tepatnya pemberdayaan yang ke arah positif, misalkan membudayakan tradisi selamatan, gotong royong, sumbangan, dan sebagainya.
(c)    Akulturasi  adalah kontak budaya satu dengan yang lain sehingga terjadi penyatuan budaya.
(d)   Asimilasi adalah campuran kental dari dua budaya atau lebih, misalkan saja  terjadinya sinkritisme antara Hindu-Jawa menjadi kaum abangan.
(e)    Invensi adalah temuan-temuan baru budaya sehingga menghasilkan inovasi (pembaharuan) yang meyakinkan, dan
(f)     Inovasi  adalah langkah strategis untuk memperbaharui budaya tertentu agar lebih fungsional bagi pendukungnya, inovasi juga sering disebut invention of tradition.    
Sejalan dengan tujuan agama adalah untuk mencapai “Jagadhita” dan “Moksa” yang diformulasikan dalam sebuah kalimat sanskerta sebagai berikut: “Atmano Moksartham Jagadhitaya ca” maka tujuan pendidikan Hindu pada hakikatnya adalah sama dengan formulasi tujuan agama tersebut di atas, yakni untuk mencapai “Jagadhita” (kesejahtraan dan kebahagiaan di dunia ini) dan “Moksa” (kebahagiaan abadi, bersatunya Atma dengan Brahman. Di Indonesia, tujuan pendidikan dinyatakan untuk mengantarkan seorang anak didik menuju tingkat kedewasaan. Kata dewasa berasal dari kata “devasya” (bahasa Sanskerta) yang berarti seseorang memiliki sifat-sifat dewa. Di dalam Bhagavadgìtà sifat-sifat atau kecenderungan seperti sifat-sifat dewa disebut “Daivi-Sampat”, yaitu semua sifat dan prilaku yang mulia. Swami Sivananda dalam All About Hinduism menjelaskan tujuan pendidikan adalah untuk mengantarkan menuju jalan yang benar dan mewujudkan kebajikan, yang dapat memperbaiki karakter seseorang (menuju karakter yang mulia) yang dapat menolong seseorang mencapai kebebasan, kesempurnaan dan pengetahuan tentang sang Diri (Atma), dan dengan demikian seseorang akan dapat hidup dengan kejujuran, hal-hal yang mengarahkan seperti tersebut adalah merupakan pendidikan yang sejati.
Sejalan dengan penjelasan di atas, maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa latar belakang falsafah dalam pendidikan menurut Veda, adalah untuk menjadikan “manava” (umat manusia) meningkat kualitas hidup dan kehidupannya menjadi para “madhava”, yakni umat manusia yang memiliki kelembutan, kasih sayang dan kearifan atau kebijaksanaan yang tinggi, tidak sebaliknya “manava” jatuh menjadi “danava-danava”, yakni manusia dengan karakter raksasa, rakus, dengki dan berbagai sifat buruk lainnya. Di dalam Taittirìya Upaniûad (7) dapat ditemukan tentang kewajiban seorang siswa untuk dengan sungguh-sungguh menempa diri, berbicara benar/membicarakan kebenaran, rajin belajar dan mengikuti ajaran Dharma serta tidak lalai dan membuang waktu (satyavada-dharmacara-svadhyaya-na pramada).
Dengan memahami hakikat dan tujuan pendidikan menurut ajaran suci Veda yang merupakan sabda Tuhan Yang Maha Esa, kiranya kita dapat memetik nilai-nilai yang terkandung dalam sistem pendidikan tersebut, mengingat ajaran suci Veda bersifat “anadi-ananta-nirvigraha” yakni tidak berawal-tidak berakhir, tidak berubah, abadi dan dapat berlaku sepanjang masa. Dalam Konsepsi Desa, Kala, dan Patra, yaitu :  manusia yang berintikan penyesuaian atau keselarasan serta dapat menerima perbedaan dan persatuan sesuai dengan motto Bhineka Tunggal Ika. Konsepsi ini memberikan landasan yang luwes dalam komunikasi ke dalam maupun ke luar, sepanjang tidak menyimpang dari essensinya.Namun nama yang paling agung yang pernah diberikan oleh manusia pada Tuhan adalah Kebenaran. Kebenaran adalah buah dari kesadaran; oleh karena itu carilah di dalam jiwa.
Dalam hubungan ini, dari perspektif Hindu diketengahkan model pendidikan agama yang inklusif yang diajarkan oleh Sri Sathya Narayana, seorang yogi besar dewasa ini,  seorang guru spiritual yang menekankan kembali betapa pentingnya 5 (lima) dasar nilai-nilai kemanusiaan, yang terdiri dari:
1)      Satya: kebenaran (truth), seseorang hendaknya berpegang teguh kepada ajaran agama yang dianutnya.
2)      Dharma: tindakan yang benar (right conduct), seseorang hendaknya senantiasa berbuat baik dan benar.
3)      Prema: cinta kasih (love), seseorang hendaknya senantiasa mengembangkan cinta kasih kepada semua makhluk dan alam semesta ciptaan-Nya.
4)      Shanti: kedamaian (peace), seseorang hendaknya dapat mewujudkan kedamaian hati dan membuat suasana sejuk terhadap lingkungannya.
5)      Ahimsa: tanpa kekerasan (non violence), seseorang hendaknya tidak melakukan tindakan kekerasan, tidak menyiksa apalagi sampai membunuh seseorang

2.7. Pengembangan Budhi Pekerti dalam Pendidikan
            Usaha pengembangan budhi pekerti dalam pendidikan adalah suatu pengembangan yang dilakukan terhadap perilaku-perilaku yang mulia dalam pendidikan. Agar pengembangan budhi pekerti dalam pendidikan, dapat selalu menjadi pedoman atau tuntunan berperilaku bagi seseorang, maka pengembangan budhi pekerti ini haruslah memiliki acuan yang jelas. Dalam hal ini pengembangan budhi pekerti mengacu pada ajaran suci agama hindu (dharma).
Karena pengembangan budhi pekerti, merupakan masalah yang sangat penting dalam kehidupan manusia sehari-hari, maka perlulah dilakukan peningkatan berperilaku yang mulia. Ini semua dilakukan untuk pencapaian sebuah tujuan. Melalui pendidikan-pendidikan inilah yang akan dapat menghasilkan perubahan perilaku-perilaku dalam kehidupan ini. Perilaku mulia, seperti yang diharapkan. Begitu pula dengan mendapatkan ilmu pengetahuan,  tanpa diiringi oleh budhi pekerti yang mulia, tidak akan menjadi berguna karena pemanfaat ilmu pengetahuan yang benar tentu akan memiliki arti apabila dapat dipergunakan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan didunia ini.
Kepandaian yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dalam pendidikan, jika diiringi oleh budhi pekerti individunya akan menjadi kecerdas dan bijaksana, sehingga kecerdasan dan kebijaksanaan ini pastilah sangat berguna bagi semua mahkluk yang ada. semakin terasa dampaknya dalam individu-individu seseorang dalam bermasyarakat karena akan dapat saling menguntungkan. Sehingga pengembangan budhi pekerti dengan baik dapatlah dihasilkan, yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia ini.
Pelaksanaan Budhi Pekerti adalah merupakan pelaksanaan yang sangat diharapkan karena merupakan pelaksanaan yang baik dan luhur dapat menghasilkan perbaikan-perbaikan yang berguna bagi sesama manusia dan beserta ciptaannya. Pendidikan Agama Hindu berwawasan multikultural merupakan hal yang sangat mendesak untuk segera dilaksanakan di Indonesia guna sedini mungkin mencegah hal-hal yang dapat merupakan potensi konflik yang berbau agama, suku, ras dan antar golongan dalam masyarakat (SARA). Untuk mencegah hal tersebut di masa yang akan datang pendidikan multikultural dapat dilakukan mulai dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat dengan penekanan, seperti halnya peendidikan pada umumnya adalah keteladanan dari orang tua di rumah, para guru di sekolah, tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat di masing-masing komunitas masyarakat.
Penerapan pendidikan multikultural di sekolah dimulai dengan revisi kurikulum dan bahan ajar, pengadaan bahan ajar yang memadai, serta peningkatan kualitas guru dan dosen dalam meningkatkan pemahaman terhadap pendidikan multikultural ini.
Pendidikan Agama Hindu multi berwawasan kultural hendaknya ditanamkan sejak dini kepada setiap  anak didik dengan demikian pada masanya generasi muda ini akan mudah beradaptasi dengan lingkungan bersama yang terdiri dari berbagai etnis, budaya dan agama. Berhasilnya pendidikan Agama Hindu berwawasan  multikultural ini dikembangkan di Indonesia bila didukung oleh Pemerintah dan semua komponen bangsa, untuk itu sosialisasi pendidikan multikultural ini sangat perlu lebih ditingkatkan. Salah satu upaya untuk hal tersebut adalah mengadakan berbagai seminar, dialog, lokakarya, sarasehan  dan diskusi untuk menyatukan visi dan menyamakan misi dalam membangun dan mengembangkan pendidikan multikultural.
Salah satu unsur budaya yang paling rentan mendapatkan tantangan di era globalisasi ini adalah sistem religi dan upacara keagamaan. Salah satu dari sistem religi tersebut adalah masalah etika dan sopan santun prilaku anggota masyarakat, karena pengaruh globalisasi, maka sesuatu di masa silam yang dianggap tabu, kini hal itu tidak lagi  menjadi sesuatu yang tabu. Demikian melalui berbagai media TV kita dapat menyaksikan hal-hal yang oleh sebagian anggota masyarakat dianggap sebagai pornografi atau pornoaksi, namun sebagian lainnya menganggap hal tersebut hal yang biasa. Kini semakin maraknya penyalahgunaan obat-obat psikotropika (narkoba) di kalangan generasi muda bangsa merupakan kendala dalam membangun pendidikan multikultural. Sejalan dengan hal tersebut, dalam berbagai kesempatan Menteri Agama H. Said Agil Husin Al’ Munawar menyampaikan tentang berbagai tantangan yang dihadapi umat beragama, di antaranya dirumuskan sebagai empat tantangan besar bagi umat beragama yang patut kita antisipasi yaitu :
1). Mencuatnya fanatisme yang sempit, mengganggap dirinya sendiri yang      paling baik dan benar, sehingga yang lainnya dianggap sesat
2).  Anarkis, pemaksaan kehendak, sehingga terjadi konflik yang   berkepanjangan.
3). Sadisme, sikap yang kejam di luar tatanan dan batas kemanusiaan.
4). Merosotnya mental moral yang diakibatkan oleh berbagai faktor seperti pornografi,  narkoba dan lain-lain.
Mengantisipasi empat tantangan umat beragama di atas, sekaligus pula juga merupakan tantangan budaya, Menteri Agama menetapkan  Program Inti Departemen Agama, yakni:
1)      Terwujudnya masyarakat yang agamis, berperadaban luhur, berbasiskan hati nurani yang disinari oleh ajaran agama.
2)      Terhindarnya prilaku radikal, ekstrim,  tidak  toleran  dan  eksklusif  dalam kehidupan beragama, sehingga terwujud masyarakat yang rukun dan damai dalam kebersamaan dan ketentraman.
3)      Terbinanya masyarakat agar menghayati, mengamalkan ajaran agama dengan sebenar-benarnya, mengutamakan persamaan, menghormati perbedaan, melalui internalisasi ajaran agama.



BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa betapa pentingnya susila atau etika dalam kehidupan manusia. Tanpa etika manusia tidak akan menemukan keharmonisan dan keselarasan. Etika sebagai penuntun dalam hidup yang telah diwariskan turun-temurun. Perubahan etika dalam masyarakat di zaman globalisasi akan menyebabkan pergeseran nilai-nilai yang luhur, karena tak dapatnya menyaring atau menfilter budaya global yang semakin mengkikis sistem nilai budaya local yang telah dijadikan acuan dalam kehidupan bermasyarakat.
Perlunya filterisasi budaya global terhadap masyrakt, serta pentingnya perkembangan budhi pekerti di dalam pendidikan sekolah maupun diluar sekolah secara lebih intens sehingga dizaman global dan kali yuga ini dapat bangkit serta menjadi acuan kembali mdalam manata kehidupan. Susila(etika), moral, budhipekerti, dan Agama Hindu tidak dapat dipisahkan karena merupakan dasar yang kuat dalam menghadapi masa globalisasi ini yang telah mendapat mengkesamping nilai-nilai luhur didalam budaya local. Dinamika etika yang terjadi didalam masyrakat terjadi dikarenakan masyrakat bersifat dinamik yang dapt berubah, namun perubahan ini hendak kearah yang lebih positif serta kemajuan bersama, bukan kearah yang negative yang dapat merugikan segala aspek. Didalam kehidupan etika,susila,budhipekerti,pergaulan, serta nilai budaya local perlulah lebih dipahami serta dapat dilaksanakan dengan maksimal tanpa harus kita menjadi orang yang premitif yang menutup perkembangan teknologi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar